Rabu, 08 Agustus 2012

Astaman Hasibuan, Kesaksian Tapol dan Sajak Kiri

Astaman Hasibuan

Raga terpenjara. Tapi, jeruji besi tak mampu belenggu pikiran manusia.

Belasan orang berkumpul, duduk membentuk setengah lingkaran di pelataran parkir Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) pada Senin (14/5) lalu. Ada beberapa pemuda, tapi kebanyakan orang tua berumur 60 tahun keatas. Siang itu, mereka berkumpul untuk menuntut pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkap kebenaran peristiwa pembantaian terhadap orang yang dicap komunis pada 1965-1966 di Indonesia.
Di tengah kerumunan, berdiri lelaki tua bernama Astaman Hasibuan sedang membaca sajak Alunkan Senandungmu, Ito  yang ia tulis di tahun 2002. Belasan orang menatap takzim pada dirinya. Sambutan tepuk tangan untuknya saat bait terakhir siap ia bacakan.
Astaman Hasibuan, sapaan harinya Asbun. Ia lahir pada 17 Maret 1940 di Simalungun, Sumatera Utara. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga agamais yang akrab dengan dunia pergerakan. Bapaknya adalah seorang guru tsanawiyah yang juga eks anggota Partai Nasional Indonesia yang kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Sedangkan sang ibu adalah wanita yang menghabiskan waktunya di rumah untuk mengasuh anak sekaligus berjualan kue basah.
Sejak duduk di bangku SMP, saat Asbun berusia 16 tahun, ia mulai aktif menulis. Sajak-sajak ia ciptakan. Saat itu, beberapa sajaknya sudah dimuat dalam surat kabar yang terbit di daerah Simalungun-Siantar.

Kegandrungannya terhadap dunia menulis, membuat ia memilih dunia jurnalistik sebagai jalan hidupnya. Tahun 1959-1965, ia bekerja sebagai wartawan di surat kabar Harian Harapan. Surat kabar bentukan Partai Komunis Indonesia. Awalnya, ia bekerja di daerah Simalungun-Siantar selama tiga tahun. Setelah itu, ia dipindahkan ke Medan.
Asbun mengaku ketertarikannya menulis sajak-sajak hanya ingin berbeda dengan teman lainnya. Kebetulan katanya, di rumah terdapat buku-buku milik sang ayah. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer koleksi milik sang ayah ia baca semua. “Buku-buku orang kiri juga banyak,” kata Asbun.

Dunia menulis, membuat ia tertarik dengan seni dan budaya. Di tahun 1959, Asbun masuk kedalam organisasi kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Siantar-Simalungun. Ia menjabat sebagai sekretaris. Ia juga terpilih sebagai anggota Lekra Medan. Di organisasi ini, ia mengajar menulis, tarik suara, tari dan seni teater. Menurutnya, organisasi ini punya visi yang jelas. “Seni adalah untuk rakyat,” katanya.
***
Oktober 1965. Suasana tegang. Berita-berita menceritakan tentang lima jendral dan dua perwira diculik. Diduga orang-orang PKI pelakunya. Sehingga, PKI dituntut harus dibubarkan. Dan orang-orang yang merupakan anggota partai ditahan tanpa persidangan. Media-media bentukan PKI dibubarkan. Organisasi yang diduga berafiliasi dengan PKI juga dibubarkan, termasuk Lekra.
Asbun resah mendengar kabar ini. Ia melarikan diri dari Kota Medan menghindari penangkapan oleh tentara. Namun pelariannya percuma. Satu bulan pelarian, ia tertangkap di daerah Martubung. Kemudian dipenjara di daerah Labuhan Deli pada November 1965.
Asbun mengisahkan selama hampir setahun dipenjara, ia melarikan diri pada tahun 1966. Ceritanya pada saat subuh hari, ketika para tahanan diminta mandi di sungai, ia menghanyutkan diri di sungai dengan seorang temannya. Pelariannya berhasil.
“Saya tahu hari itu bakal diculik. Mending saya lari. Paling kalau ketahuan ya sama juga, mati,” kata Asbun. 
Selama pelarian, ia kerap gonta-ganti nama. Nama samarannya adalah Dahlan, Asman, Nurdin dan Aminullah. “Tapi, marga saya enggak pernah hilang,” kata Asbun. Ia tanpa identitas. Selama gonta-ganti nama itu pula, ia kerap keluar-masuk penjara karena terkena razia penduduk. Ia harus keluar-masuk penjara karena tanpa identitas selama sebelas tahun.
Suatu hari ketika ada razia kependudukan, Asbun kembali tertangkap pada tahun 1968. Ia ditahan di Jalan Gandi, Medan. Ia ditahan di dalam ruang sebesar 3x4 meter. Dinding-dingingnya ditutupi papan kayu sehingga tak ada celah untuk cahaya matahari masuk ke dalam ruangan. Di dalam ruangan itu, ia bersama 21 orang tahanan lainnya.
Asbun mengisahkan, saat dipenjara di Jalan Gandi, ia dipukuli hingga babak-belur di sekujur tubuhnya. Tak dapat perawatan, ia punya cara sendiri mengobati lukanya. “Tiap pagi hari, minum air seni saya sendiri,” katanya.
Di penjara Jalan Gandi inilah menurut Asbun yang paling menderita. Dia tidak bisa melakukan apapun. Jangankan keluar untuk buang air, bisa melihat matahari saja sudah beruntung baginya. “Pernah suatu hari ada teman yang seorang pelukis dapat arang, dia melukis dengan arang tadi. Tapi ketahuan sama tentara. Waktu balik kedalam ruang tahananan, tangannya sudah patah. Hidup kami seperti kangkung yang enggak pernah kena matahari,” kisah Asbun.
“Saya ditahan tanpa persidangan, siksaan dari tentara lah persidangannya,” kata Asbun. Siksaan dalam penjara sudah terbiasa bagi dirinya. Dipukuli, dicocor dengan senapan, kemudian dibekap dalam kamar mandi selebera satu kali satu meter yang tinjanya menumpuk di lobang kakus.
Akhirnya pada tahun 1977, ia dibebaskan. Ia kembali ke kota kelahirannya. Di sana ia pernah melakukan berbagai pekerjaan seperti tukang bangunan dan penagih utang. Kini, ia telah menetap di daerah Namorambe, Sumatera Utara. Bersama istri dan tiga orang anaknya.
Sepanjang 1965-1966 diperkirakan sebanyak 500 ribu sampai 3 juta jiwa dibunuh. Kemudian 20 juta jiwa yang masih hidup mendapatkan cap buruk serta diskriminasi oleh pemerintah dan masyarkat karena dituduh komunis. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan..

***
Penjara tak membuat pikirannya terkungkung. Sajak-sajak ia ciptakan dari dalam tiang-tiang besi penjara. Sebanyak 14 sajak ia ciptakan dari tahun 1966 sampai 1977. Sajaknya berisi perlawanan-perlawanan terhadap penindasan yang terjadi. Namun ada juga sebuah sajak yang ia ciptakan untuk seorang wanita yang juga anggota Lekra. Ia jatuh hati pada wanita itu, namun cintanya tak berujung manis. Si wanita menikah dengan lelaki lain. Inilah sajaknya berjudul Dia tak pernah kehilangan cintanya.

Empat bulan berikutnya, diapun akhirnya menyusul perempuan, kekasihnya itu. Sesudah dua setengah tahun menjadi orang buruan.  Digenapkan sebagai penghuni kurungan.
Kurungan bagi orang-orang komunis. Dan orang-orang yang dikomuniskan.

Empat tahun. Keduanya di gedung yang sama, dihunian yang sama.
Sesekali bersapaan tanpa melihat muka.
Hatinya cemburu, ribuan kali cemburu.
Kekasihnya pun, dibebaskan, lepas.
Tak memberitahu.
Bulan berikutnya, laki-laki itu menerima berita.
Perempuan kekasihnya, menikah dengan laki-laki yang juga dibebaskan, dihari, bulan, dan tahun sebelumnya.   

Hatinya perih.
Kekasihnya. Yang dicintainya. Dan yang pernah mengikrarkan sangat mencintainya. Sudah kehilangan semua harapannya. Harapan, sampai kapan harus menunggu.
Itulah penyebabnya.
Pematah harapannya.

Meski begitu, laki-laki itu tak kehilangan apa-apa.
Tak pernah kehilangan cintanya.

Jalan Gandhi, Juli1972

Ia punya pengalaman yang selalu diingatnya saat masih SMP. “Waktu itu bukan tanggal 1 Mei atau 17 Agustus. Tiba-tiba ayah saya mengajak ke kota untuk beli sepatu baru. Saya heran. Lebaran saja ia tak mau belanja apapun. Ini kok tiba-tiba ajak saya. Ternyata, ketika sampai di rumah ia menunjukkan puisi saya yang dimuat dalam surat kabar,” cerita Asbun.
Orang tuanya yang aktif dalam pergerakan memiliki koleksi buku-buku di rumahnya. Tak mau disia-siakan, Asbun banyak membaca buku-buku sang bapak. Inilah yang memengaruhi cara berpikir Asbun dalam membuat sajak-sajaknya.
Asbun punya filosofi sendiri mengenai karya sastra. Menurutnya, karya sastra dapat mengungkapkan kejadia apa yang sebenarnya terjadi. “Saya menulis bukan untuk mengajak orang melakukan perubahan, tapi menyampaikan pada masyarakat apa sebenarnya yang terjadi,” kata Asbun.
 Kini, Asbun tak bekerja lagi. Ia habiskan waktu membuat sajak-sajak di rumahnya. Dalam hatinya tetap yakin bahwa sejarah yang ditutupi pada peristiwa 1965-1966 akan terungkap kebenarannya. “Saya masih yakin dengan generasi muda sekarang, kebenaran pasti terungkap,” kata Asbun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar