Rabu, 08 Agustus 2012

Tutur


Polan : Ucok, suntuk kali mukamu!

Ucok : Bah! Cemana enggak suntuk. 
Semalam di Pasar Delapan keretaku hilang.
Polan : Nasib kau lah.



APA yang kita pahami dari dialog di atas? Benarkah Ucok memiliki sebuah kereta? Apakah kereta itu hilang di sebuah pasar bernama ‘delapan’?
Inilah sebuah adegan percakapan yang sering kita jumpai di Kota Medan. Bila kita bukan orang Medan, bisa-bisa kita salah memahami perkataan Ucok. Tafsiran secara bahasa Indonesia yang baik dan benar akan mengartikan bahwa Ucok punya sebuah kereta (api) yang hilang di sebuah pusat perbelanjaan tradisional bernama delapan, tadi malam.
Namun, dalam tutur bahasa Medan, bukan itu yang dimaksud Ucok. Bila kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) percakapan di atas akan menjadi ambigu karena kata yang sama diartikan secara berbeda dalam tutur orang Medan.

Keberangkatan


Hari ini aku jadi manusia paling menyebalkan dalam hidupmu. Ketika meminta mengantarkan aku pergi ke stasiun untuk kereta api sore. Sesak pertanyaan di hatimu. Mempertanyakan kepergianku yang cepat. Padahal saat ini adalah hari terakhir aku bisa menatap wajahmu langsung. Seharusnya kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan makan malam bersama, atau berjalan keliling menikmati cahaya lampu kota.
Apalagi besok adalah harimu. Ulang tahunmu ke-21. Dalam hatimu berkata, “kenapa tidak menunggu besok?” Seharusnya aku berada di sebelahmu untuk jadi manusia pertama yang mengucapkan selamat kepadamu. Mungkin menjadi orang yang mengejutkanmu ketika mengetuk pintu flatmu di tengah malam sekadar memberikan kecupan kening. Paling tidak aku ada di dekapmu saat berjalan di atas pasir pantai kala senja.
Tapi seperti biasa kamu lebih memilih diam. Kita berjalan menuju stasiun dekat flatmu. Kamu kenakan sweter pink pemberianku, dengan rambut tetap dikuncir seperti biasanya. Dan aku dengan ransel berjalan di sebelahmu. Tak ada kata terucap dari kita, karena saling mencoba berpikir apa yang terjadi setelah hari ini.

Astaman Hasibuan, Kesaksian Tapol dan Sajak Kiri

Astaman Hasibuan

Raga terpenjara. Tapi, jeruji besi tak mampu belenggu pikiran manusia.

Belasan orang berkumpul, duduk membentuk setengah lingkaran di pelataran parkir Kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut) pada Senin (14/5) lalu. Ada beberapa pemuda, tapi kebanyakan orang tua berumur 60 tahun keatas. Siang itu, mereka berkumpul untuk menuntut pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkap kebenaran peristiwa pembantaian terhadap orang yang dicap komunis pada 1965-1966 di Indonesia.
Di tengah kerumunan, berdiri lelaki tua bernama Astaman Hasibuan sedang membaca sajak Alunkan Senandungmu, Ito  yang ia tulis di tahun 2002. Belasan orang menatap takzim pada dirinya. Sambutan tepuk tangan untuknya saat bait terakhir siap ia bacakan.
Astaman Hasibuan, sapaan harinya Asbun. Ia lahir pada 17 Maret 1940 di Simalungun, Sumatera Utara. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga agamais yang akrab dengan dunia pergerakan. Bapaknya adalah seorang guru tsanawiyah yang juga eks anggota Partai Nasional Indonesia yang kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Sedangkan sang ibu adalah wanita yang menghabiskan waktunya di rumah untuk mengasuh anak sekaligus berjualan kue basah.
Sejak duduk di bangku SMP, saat Asbun berusia 16 tahun, ia mulai aktif menulis. Sajak-sajak ia ciptakan. Saat itu, beberapa sajaknya sudah dimuat dalam surat kabar yang terbit di daerah Simalungun-Siantar.